YANG TERASING-04


YANG TERASING

JILID 4

kembali | lanjut

YT-04PURANTI PUN kemudian melangkah pergi mengitari dinding batu. Ketika ia berdada disisi kanan halaman rumah Nyai Sudati, ia menjenguk sekali lagi. Didalam keremangan malam, Puranti melihat seorang penjaga duduk terkantuk-kantuk di pendapa bersandar tiang. Sedang yang lain tidur dengan nyenyaknya berselimut tikar di sudut.

“Mereka orang-orang yang setia” berkata Puranti didalam hatinya, “tetapi apabila kejahatan mulai melanda padukuhan ini, mereka akan dapat menjadi korban. Apalagi kalau benar, Hantu Pabelan yang masih hidup itu kini melakukan kejahatan kecil-kecilan sebelum ia berhasil menyusun kekuatan yang cukup.

Puranti pun kemudian meninggalkan rumah itu sambil merenung, “Sampai berapa lama aku akan tinggal di Alas Sambirata?”

Puranti sendiri tidak dapat menjawab. Ia harus melihat perkembangan dari rencananya. Tetapi apabila perlu ia dapat mempergunakan cara lain, agar ia tidak selalu berada di Alas Sambirata. dan mungkin justru dikira sesosok peri apabila ada yang kebetulan pernah melihatnya tanpa disadari.

Karena itu Puranti mencoba mencari akal, agar ia menemukan tempat yang lebih baik baginya. Ia akan tinggal di daerah itu bukan sekedar sehari dua hari. Tetapi mungkin sebulan dua bulan. Sekali-sekali ia dapat pulang ke rumah apabila kerinduannya kepada ayah dan kawan-kawannya di Gajah Mungkur tidak tertahankan lagi. Tetapi ia akan kembali lagi kedaerah ini.

“Pekerjaan yang berat” desisnya.

Tetapi ada dua sebab, kenapa ia berusaha melakukan pekerjaan yang berat itu sebaik-baiknya.

Sebagai seorang anak dari Kiai Pucang Tunggal, ia tidak dapat tinggal diam, apabila kejahatan mulai menjalar ke padukuhan-padukuhan kecil. Apalagi Demak sendiri sedang sibuk dengan usahanya untuk membuat Demak menjadi suatu negara yang besar dan utuh.

Namun, agaknya Sultan Demak menjumpai banyak kesulitan karena tingkah laku, orang-orang istana sendiri, ditambah dengan pergolakan-pergolakan yang terjadi di daerah sepanjang pesisir Timur.

Selain daripada itu, maka masih juga memercik harapannya bagi dirinya sendiri untuk membangunkan Pikatan dari mimpinya yang terlampau buruk tentang cacat tangannya dan hari depan yang gelap.

Tetapi untuk tinggal di Alas Sambirata yang sepi dalam waktu yang lama, agaknya merupakan persoalan yang sulit baginya.

Meskipun ia mempunyai kelebihan sebagai seorang gadis, namun ia adalah seorang gadis. Ia mempunyai bermacam-macam keinginan dan kebiasaan. Ia mempunyai tata cara hidup yang telah dijalaninya bertahun-tahun sejak ia kanak-kanak.

Itulah agaknya ia tidak akan dapat hidup memencilkan diri sebagai hantu Alas Sambirata. Ia memerlukan kawan untuk berbicara. Ia memerlukan dunia yang wajar seperti dunianya yang selama ini dihayatinya di Gajah Mungkur.

“Aku harus menemukan jalan” desisnya, “aku tidak akan dapat hidup seperti ini. Seperti seekor kijang di kebun yang sangat luas tanpa seekor kawan pun”

Puranti pernah mendengar seseorang yang menjalani tapa ngidang. Hidup seorang diri berkawan binatang-binatang di hutan. Berlari-lari seperti kijang tanpa mengenakan pakaian. Makan rerumputan dan buah-buahan. Tidur di sembarang tempat dan keadaan. Bergulat melawan udara dingin dan panas. Bahkan bergulat melawan binatang-binatang buas yang menyerangnya.

“Orang yang demikian, kelak akan menjadi manusia luar biasa desis Puranti, “tetapi aku kira hanya satu diantara sepuluh ribu yang mampu melakukannya paling cepat untuk waktu setahun”

Dan Puranti tidak ingin tapa ngidang, berlari-lari tanpa pakaian di Alas Sambirata itu. Meskipun tidak sepasang mata manusia pun yang menyaksikan, tetapi seakan-akan setiap cabang pepohonan memalingkan wajah-wajah mereka apabila melihatnya dalam keadaan yang demikian.

Namun bagaimanapun juga, untuk sementara ia harus berada di Alas Sambirata.

Di siang hari Puranti seolah-olah bersembunyi di dalam hutan kecil yang memang hampir tidak pernah dirambah kaki manusia itu. Dengan gelisah ia menunggu malam segera tiba. Tetapi hari rasa-rasanya menjadi terlampau panjang. Matahari seakan-akan menjadi terlampau malas dan lamban sekali mengarungi jalannya di langit yang biru bersih.

Puranti hanya dapat melupakan kegelisahan itu sedikit apabila ia terlena. Tetapi apabila ia terbangun, maka ia pun menjadi gelisah kembali.

“Tidak mungkin aku mengalami hal serupa ini untuk waktu yang panjang. Mungkin sepekan aku masih dapat bertahan, seperti ketika aku datang pertama kalinya di hutan ini. Tetapi lebih dari itu, aku akan tersiksa. Mungkin usahaku berhasil kelak, tetapi aku sendiri akan mengalami gangguan-gangguan syaraf yang berbahaya.

Namun Puranti masih mempunyai waktu beberapa hari. la masih akan tetap bertahan tinggal di Alas Sambirata.

Ketika malam mulai turun, barulah Puranti mengemasi pakaiannya. Ia sudah bersikap untuk melakukan sesuatu atas restu ayahnya. Ia ingin membuat Wiyatsih tidak lagi sebagai seorang gadis manja yang tidak dapat berbuat apa-apa. la ingin menuntun Wiyatsih untuk menjadi seorang gadis yang lain dari kawan-kawannya sepadukuhan.

Seperti yang dijanjikan, ketika malam telah menjadi semakin sepi, Puranti pun dengan diam-diam memasuki halaman rumah Nyai Sudati. Dengan hati-hati pula ia membangunkan Wiyatsih. Tetapi kini ia tidak mengalami kesulitan sama sekali, karena Wiyatsih memang masih belum tidur sama sekali.

Dengan suatu isyarat, maka Wiyatsih pun segera bangkit dari pembaringannya. Perlahan-lahan ia membuka pintu biliknya dan perlahan-lahan pula ia berjalan ke pintu butulan. Sejenak ia memperhatikan keadaan di dalam rumah itu. Ketika ia yakin bahwa tidak ada lagi yang masih terbangun, iapun mengangkat selarak pintu dan membukanya.

Seperti kemarin dilihatnya Puranti sudah menunggunya di luar. Dengan hati-hati, Wiyatsih menutup pintu itu kembali dan berjalan mengikuti Puranti ke kebun belakang yang agak jauh dari pakiwan dan terlindung oleh bayangan pepohonan yang agak rimbun.

“Wiyatsih” berkata Puranti, “Apakah kau sudah siap?”

“Apakah yang harus aku persiapkan?”

“Tekad di dalam dadamu”

“O, ya. Aku sudah siap.”

“Kalau kau sudah siap, maka kita akan segera mulai. Kau akan mempelajari ilmu olah kanuragan. Ilmu yang jarang sekali dipelajari oleh gadis-gadis seperti kita. Namun ternyata bahwa apabila kita benar-benar berniat, kita akan dapat juga melakukannya.”

“Ya. Aku sudah bertekad untuk mempelajarinya.”

Puranti mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Tetapi kau harus sadar, bahwa untuk mempelajari-nya, kau memerlukan waktu yang lama, lama sekali. Setiap malam apabila tidak ada halangan apapun juga, kau harus mempelajarinya. Dan hal itu adalah suatu pekerjaan yang berat sekali.”

Wiyatsih termenung sejenak, namun kemudian, “Ya, aku sudah menyadari.”

“Bagus. Kau harus mampu menguasai pengetahuan olah kanuragan. Setidak-tidaknya pengetahuan dasarnya. Dengan demikian kau akan mampu berbuat sesuatu untuk kepentinganmu sendiri dan kepentingan keluargamu. Apalagi apabila mungkin, untuk kampung halamanmu.”

Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Baiklah. Jika demikian. kita akan segera mulai.”

Sekali lagi Wiyatsih mengangguk.

Namun sambil memandang kain panjang Wiyatsih, Puranti berkata, “Langkah-langkahmu akan terganggu oleh kain panjangmu.”

“Tetapi aku tidak mempunyai pakaian seperti pakaianmu. Pakaian laki-laki.”

Singsingkan kain panjangmu. Tidak akan ada orang yang melihat.”

Wiyatsih agak ragu-ragu juga. Tetapi keseganannya itu kemudian dapat diatasinya oleh keinginannya yang mantap untuk mendapatkan sesuatu yang aneh baginya.

Puranti pun kemudian mulai memberikan pengetahuan pendahuluan tentang olah kanuragan. Mula-mula sederhana sekali. Wiyatsih hanya disuruhnya menirukan, bagaimana Puranti berjalan. Sekali-sekali mengitari pepohonan, kemudian lurus ke depan dan dengan tiba-tiba berputar berbalik arah.

“Apakah dengan begini aku akan mampu bermain pedang” bertanya Wiyatsih kepada, diri sendiri. Tetapi ia tidak berani mengucapkan pertanyaannya.

Namun ternyata bahwa dalam waktu yang singkat, keringatnya telah membasahi segenap pakaiannya. Kakinya terasa sakit dan nafasnya menjadi terengah-engah.

Wiyatsih bukannya seorang gadis yang setiap hari hanya sekedar duduk memeluk lutut. Meskipun ia anak seorang yang berkecukupan, tetapi ia sering bersama-sama dengan kawan-kawannya pergi juga ke sawah. Menanam padi, menunggu burung dan kemudian menuainya. Namun melakukan gerak-gerak yang tampaknya sederhana itu, nafasnya serasa akan putus di kerongkongan.

“Apakah kau sudah lelah?”

Wiyatsih. menganggukkan kepalanya. “Ya, aku lelah” katanya, “aku tidak biasa berjalan, begini cepat, Dan kau memang aneh sekali. Kenapa kita harus berjalan meloncati tempat pembuangan sampah, kadang-kadang berputar-putar mengelilingi sebatang pohon?”

Puranti tersenyum. Katanya, “Kau harus berlatih dengan sungguh-sungguh. Kau baru melatih urat-urat kakimu. Kau dapat melatih sendiri di siang hari. Kalau kau pergi ke sawah, pilihlah jalan-jalan yang paling sulit. Berusahalah berjalan secepat-cepatnya. Maka kakimu akan terbiasa bekerja keras. Itu adalah permulaan dari latihan-latihan mendatang. Latihan kaki, karena kakimu harus selincah kaki kijang.”

“Kijang?”

“Kau pernah melihat kijang?”

“Pernah. Kadang-kadang seorang pemburu mendapatkan seekor kijang”

“Itulah. Dan pakailah caraku berjalan.”

“Tetapi aku pasti akan ditertawakan oleh kawan-kawan.”

“Jangan bersama kawan-kawan. Biarlah mereka berangkat dahulu. Atau pergilah bersama-sama dengan mereka. Tetapi kau harus kembali lagi. Kau dapat mengambil apa saja yang tertinggal di rumah. Setiap hari. Jangan lupa, setiap hari.”

“Setiap hari aku kelupaan?”

“Kau dapat mencari alasan apapun. Mungkin sore hari, mungkin pagi-pagi benar. Dan setiap malam aku akan datang ke rumahmu, untuk melatih urat-uratmu di seluruh tubuhmu, agar dapat menyesuaikan diri dengan gerakan-gerakan yang bakal kau pelajari kelak.”

Wiyatsih mengangguk anggukkan kepalanya.

“Kau akan mempelajari bagaimana caranya memukul.”

“Memukul?” Wiyatsih mengerutkan lehernya.

“Ya. memukul. Kau harus dapat memukul. Menyepak dan kemudian menggenggam senjata. Kau mengerti?”

Wiyatsih menganggukkan kepalanya, meskipun masih tampak ragu-ragu.

“Wiyatsih” berkata Puranti, “untuk melawan kejahatan kadang-kadang kita harus berbuat aneh. Berbuat yang tidak pernah kau bayangkan. bahwa kau akan melakukannya. Misalnya memukul. Ya, memukul orang, memukul sesama. Bahkan pada suatu tingkatan yang paling besar, mungkin kau akan melukai seseorang dengan pedang, bahkan sengaja atau tidak sengaja membunuhnya.”

“O” desis Wiyatsih.

“Tetapi ingat Wiyatsih. Kita tidak melakukan berdasarkan hati yang dengki, iri, jahat dan pamrih yang berlebih-lebihan, Kita harus melakukannya atas dasar kasih sayang kepada sesama. Justru atas dasar kasih sayang”

Wiyatsih mengerutkan keningnya. Ia masih belum mengerti maksud Puranti.

“Nah, sudahlah. Aku kira cukup untuk hari ini. Besok kau akan merasa sakit pada paha dan lengan tanganmu. Tetapi itu tidak apa-apa. Bahkan itu suatu pertanda bahwa ada perkembangan dan tanggapan dari tubuhmu atas gerakan-gerakan yang baru bagi tubuh itu.”

Wiyatsih menganggukkan kepalanya.

“Aku minta diri. Tidurlah sepulas-pulasnya.”

“Puranti” tiba-tiba terdengar suara Wiyatsih dalam nada yang dalam, “aku mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga.”

“Sst, jangan kau katakan itu sekarang. Kau belum apa-apa” Wiyatsih tidak menyahut. Tetapi terasa sesuatu bergetar didalam hatinya.

Sejenak kemudian Puranti pun meninggalkan halaman rumah itu. Halaman yang luas dan dipagari dengan dinding batu, sekelilingnya merupakan tempat yang baik bagi Wiyatsih untuk melatih diri.

Sepeninggal Puranti, Wiyatsih pun, masuk kembali ke dalam biliknya dengan sangat berhati-hati. Ia tidak boleh membangun-kan siapapun juga. Suara selarak pintunya tidak boleh terdengar oleh dua orang penjaga yang ada di pendapa rumahnya.

Demikianlah pada malam berikutnya, Wiyatsih pun melaku-kan latihan yang sama. Latihan-latihan permulaan sebelum ia mulai dengan mempelajari olah kanuragan yang sebenarnya.

Seperti yang dijanjikan, maka setiap malam Puranti datang ke halaman belakang rumah itu. Wiyatsih yang sudah menjadi agak biasa, tidak lagi perlu dibangunkan. Ia sendiri pada waktu yang sudah ditentukan, keluar dari biliknya san dengan hati-hati melintasi longkangan. agar para pembantu rumahnya tidak mengetahuinya.

Tetapi pada malam yang ke lima, Puranti berkata kepadanya setelah mereka selesai, “Wiyatsih, besok malam aku tidak dapat datang ke rumah ini.”

“Kenapa?” Wiyatsih terkejut.

“Mungkin untuk dua atau tiga malam”

“Ya, tetapi kenapa?”

“Aku sedang berusaha untuk mendapatkan tempat tinggal yang lebih baik dari Alas Sambirata.”

“O” Wiyatsih terdiam. Hampir saja ia menawarkan agar Puranti tinggal saja di rumah ini. Tetapi ia sadar, bahwa pasti ada sesuatu persoalan yang tidak akan memungkinkannya. Justru karena kakaknya Pikatan yang cacat itu ada di rumah.

“Aku akan mencari tempat untuk menumpang.”

“Dimana?”

“Dalam waktu dua hari ini aku sudah berputar-putar di padukuhan disekitar tempat ini. Akhirnya aku menemukan juga tempat itu. Aku akan mencari pangengeran di padukuhan Cangkring.

“Cangkring? Begitu jauh?”

“Tidak terlampau jauh Wiyatsih. Bagiku Cangkring adalah tempat yang paling baik. Kalau aku mencari tempat pangengeran yang terlampau dekat dengan padukuhan ini, maka pada suatu saat yang pendek, Pikatan akan mengetahui kehadiranku, Dengan demikian, mungkin sekali latihan-latihan ini akan terganggu. Mungkin ia tidak menyetujuinya atau bahkan berusaha melarangmu.”

“Kakang Pikatan kini menjadi orang yang terasing. Ia tidak pernah keluar dari halaman rumah ini. Ia tentu tidak akan mengetahui meskipun kau tinggal di padukuhan ini pula, asal kau mempergunakan nama yang lain dari namamu.”

Puranti tersenyum, jawabnya, “Mungkin Wiyatsih. Tetapi bagiku, lebih baik aku tinggal di padukuhan yang agak jauh. Aku akan selalu datang kelak, apabila aku sudah mapan. Didalam dua tiga malam, aku akan terpaksa menunjukkan, bahwa aku selalu ada di rumah. Aku mengharap bahwa aku akan mendapat kesempatan yang leluasa kelak”

“Kau akan tinggal pada siapa?”

“Aku masih belum pasti. Tetapi ada seorang janda miskin yang baik hati Aku telah menemuinya dan bahkan, ia minta aku tinggal bersamanya karena ia tidak mempunyai seorang anak pun. Aku datang sebagai seorang gadis yang hampir mati kelaparan. Dan ia memberi aku minum dan makan meskipun sangat sederhana.”

“Kau dimintanya tinggal di rumah itu?”

“Ya. Dan aku mengatakan kepadanya, bahwa aku akan mencari dan minta ijin dahulu kepada saudaraku yang bernasib seperti aku pula. Bahkan janda miskin itu menyuruh aku membawa saudaraku itu tinggal bersamanya.”

Alangkah baik hatinya. Ibuku juga seorang janda. Bahkan seorang janda yang kecukupan. Tetapi aku kira ibu tidak akan berbuat demikian. Ia hanya bersedia memberi makan dan pakaian kepada orang-orang yang masih dapat disadap tenaganya.”

Puranti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kemudian ia berkata, “Tetapi bagaimanapun juga ia tetap ibumu, Wiyatsih. Kau harus tetap berbuat seperti seorang anak terhadap orang tuanya. Namun itu bukan berarti bahwa kau tidak dapat berbuat sesuatu yang lain kepada ibumu, agar ia bersedia merubah pendiriannya. tanpa menyinggung perasaannya.”

Wiyatsih menganggukkan kepalanya.

“Jangan. lupa, selama aku tidak datang, kau dapat berlatih sendiri seperti petunjuk-petunjuk yang sudah aku berikan. Kau mengerti?”

Sekali lagi Wiyatsih mengangguk.

“Sekarang aku minta diri. Besok aku akan pergi ke Cangkring dan mudah-mudahan aku mendapat tempat tinggal yang tetap, karena aku kira, aku akan berada di daerah ini untuk waktu yang cukup lama.”

Sepeninggal Puranti, Wiyatsih mulai menilai dirinya sendiri. Kini ada perasaan kecewa bila ia mendengar bahwa Puranti tidak dapat datang untuk dua atau tiga malam.

“Hanya dua atau tiga malam” desisnya.

Tetapi rasa-rasanya ia tidak akan dapat bertemu dengan gadis aneh itu untuk waktu yang lama.

Dengan demikian Wiyatsih dapat melihat perkembangan didalam dirinya sendiri, Ia benar-benar telah terjerat oleh kemantapannya melatih diri dalam olah kanuragan, yang sebelumnya tidak pernah diimpikan. Seandainya Puranti tidak selalu memperingatkan, ingin rasa-rasanya untuk menunjukkan kepada kawan-kawannya, bahwa kini ia mampu |meloncat-loncat dengan lincahnya. Tetapi untunglah bahwa ia selalu berhasil mengendalikan dirinya, sehingga sikapnya sehari-hari tidak banyak terpengaruh oleh latihan-latihan yang sebenarnya semakin lama menjadi semakin berat.

Namun bagaimanapun juga, keadaan Wiyatsih menumbuhkan pertanyaan juga di hati ibunya. Kini kadang-kadang Wiyatsih bangun agak terlampau siang. Setelah cahaya pagi menjadi terang, barulah ia keluar biliknya. Di siang hari gadis itu tampaknya terlampau lelah dan malas. Apalagi Wiyatsih kini terlalu senang pergi mencuci pakaian di sungai. Bahkan berlama-lama. Tetapi begitu ia sampai di rumah, tenaganya seakan-akan sudah tidak tersisa sama sekali.

Selama ini Wiyatsih tidak pernah tidur di siang hari. Tetapi kadang-kadang kini Wiyatsih terlena di pembaringannya meskipun hanya sebentar dan kemudian tergagap bangun.

Akhirnya pertanyaan yang selalu mengganggu perasaan itu tidak lagi dapat disimpannya. Pada suatu siang, selagi Wiyatsih berbaring di pembaringannya, ibunya datang menemuinya.

“Wiyatsih” Suaranya agak dalam dan datar, “apakah kau sakit?

Wiyatsih segera bangkit. Dengan kening yang berkerut-merut ia bertanya, ”kenapa ibu? Aku sehat-sehat saja.”

“Dalam tiga empat hari ini kau tampak lelah sekali. Bahkan seakan-akan kau sudah tidak bertenaga lagi. Apakah yang sudah terjadi?”

Sejenak Wiyatsih menjadi berdebar-debar. Namun kemudian diingatkan kata-kata Puranti, “Dalam sepuluh hari, kau sudah akan terbiasa. Mungkin sehari dua hari kau akan mengaIami kelainan. Mungkin kau menjadi lesu atau kantuk. Tetapi itu akan hilang dengan sendirinya apabila badanmu telah berhasil menyesuaikan diri.”

Karena Wiyatsih tidak segera menjawab, maka ibunya mendesaknya, “Wiyatsih. Aku sudah dicemaskan oleh keadaan kakakmu. Seakan-akan ia tidak pernah keluar dari dalam biliknya. Hanya kadang-kadang saja ia pergi kekebun belakang. Kadang-kadang berjalan-jalan di sekitar kandang. Tetapi kemudian kembali lagi kedalam biliknya dan duduk di pembaringan.” ibunya berhenti sejenak, lalu, “sekarang aku melihat kau selalu lesu dan letih.”

Tiba-tiba Wiyatsih tertawa. Katanya “Aku tidak apa-apa ibu. Aku sehat. Memang kadang-kadang aku merasa lesu karena aku memang kurang tidur dimalam hari, justru karena kakang Pikatan yang rasa-rasanya orang asing dirumah ini. Kadang-kadang tanpa aku sadari, aku merasa cemas akan hari depannya. Karena itulah maka aku sering tidak segera dapat tidur.”

Ibunya menarik nafas dalam-dalam, lalu, “Tetapi kau pun tampak lain sekali. Sekarang kau terlalu sering pergi ke sungai. Dahulu kalau kau pergi mencuci pakaian, kau tidak pernah sampai matahari naik ke puncak pepohonan. Tetapi sekarang kau berada di sungai sampai matahari hampir mencapai puncak.”

Sekali lagi Wiyatsih tertawa. Bahkan kemudian Wiyatsih memeluk ibunya sambil berkata manja, “Ibu terlampau baik. Ibu terlalu memperhatikan aku yang menjadi semakin dewasa sekarang. Dan karena itu, cucianku pun menjadi semakin banyak.”

“Ah” ibunya berdesah.

“Ibu tidak usah menjadi resah. Aku idak apa-apa.”

Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian kepalanya pun terangguk-angguk. Sambil menepuk pundak anaknya ia berkata, “Jagalah kesehatanmu baik-baik.”

”Ya ibu” jawab Wiyatsih sambil melepaskan ibunya, yang kemudian melangkah pergi sambil berkata, “Jagalah dirimu didalam segala hal. Kau memang sudah meningkat dewasa.”

Wiyatsih tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.

Ketika ibunya telah hilang dibalik pintu, maka Wiyatsih pun terduduk di bibir pembaringannya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia bergumam didalam hati, “Ternyata ibu melihat kelainan sikapku sehari-hari. Ibu memperhatikan pula, bahwa aku terlampau lama berada dipinggir sungai.”

Sebenarnyalah bahwa Wiyatsih memang terlalu lama apabila ia pergi ke sungai. Ia tidak kembali bersama-sama dengan kawan-kawannya sehabis mencuci. Ada saja alasannya. Kemudian apabila kawan-kawannya sudah tidak ada lagi, dan ia yakin bahwa tidak ada seorang pun yang memperhatikannya, maka ia pun mulai berlatih, berjalan diatas bebatuan. Meloncat-loncat dari batu yang satu ke batu yang lain. Sekali-sekali ia tergelincir dan jatuh kedalam air, tetapi permainan itu semakin lama menjadi semakin menarik baginya.

Namun demikian, pertayaan ibunya itu merupakan suatu peringatanbaginya bahwa ia harus lebih berhati-hati lagi. Ia tidak boleh menunjukkan perubahan yang dapat menyulitkannya, karena apa yang sedang dilakukan itu adalah sesuatu yang tidak biasa dilakukan oleh gadis-gadis.

Dalam pada itu, selama Puranti tidak datang kehalaman rumahnya di malam hari, Wiyatsih selalu berlatih sendiri. Ia tidak tahu, kenapa dengan cepat telah terjadi perkembangan didalam dirinya. Biasanya ia tidak berani itu untuk keluar sendiri dari rumahnya di malam hari. Tetapi kini ia sama sekali tidak lagi terpengaruh oleh gelapnya malam. Bahkan matanya pun segera dapat menyesuaikan diri, sehingga seakan-akan pandangan matanya menjadi semakin tajam dimalam hari.

Tetapi tanpa Puranti, Wiyatsih tidak begitu telaten berada didalam kegelapan sendiri. Karena itu, ia sekedar berlatih agar tubuhnya menjadi semakin cepat menyesuaikan diri dengan sikap-sikap yang akan dipelajarkan oleh Puranti kelak.

Namun di siang hari justru Wiyatsih selalu mencari kesempatan untuk melakukannya. Seperti yang dikatakan oleh Puranti, apabila ia pergi kesawah bersama kawan-kawannya, ia selalu membuat alasan untuk pulang kerumah mengambil sesuatu. Seperti yang dikatakan oleh Puranti, Wiyatsih selalu mengambil jalan yang paling sulit. Dilaluinya pematang-pematang yang sempit dan licin untuk memantapkan latihan keseimbangannya. Kemudian meloncati parit-parit yang kering di musim kemarau, meskipun sebenarnya ia dapat melintas tanpa kesulitan apapun juga.

Ternyata kemauan yang mantap itu telah membantu Wiyatsih mempercepat perkembangan tubuhnya. Kaki dan lengannya sudah tidak terasa sakit-sakit lagi di pagi hari. Bahkan tubuhnya telah menjadi seakan-akan semakin ringan dan lincah. Sehingga dengan demikian Wiyatsih pun menjadi semakin mantap.

Sementara itu, seperti dikatakan, Puranti benar-benar telah pergi kepadukuhan Cangkring. Dengan pakaian yang kumal dan tubuh yang lesu gadis itu datang kembali ke rumah seorang janda miskin yang baik hati, seperti yang dimintanya, karena janda itu tidak mempunyai seorang anak pun.

“Aku memerlukan seorang kawan” berkata janda itu, “tetapi yang bersedia menanggung keprihatinan seperti aku.”

Puranti menundukkan kepalanya.

“Aku senang kau datang kembali.”

“Hidupku jauh lebih prihatin dari hidup bibi disini.”

“Kalau kau bersedia tinggal disini, panggil aku biyung.”

“Ya, biyung.”

“Kita akan sama-sama hidup dalam kekurangan. Tetapi barangkali lebih baik bagimu untuk menetap di rumah ini daripada kau bertualang kemana-mana, meskipun kau mempunyai alasan, mencari saudaramu yang sudah agak lama tidak kau dengar beritanya.”

Puranti menganggukkan kepalanya.

“Kita akan bersama-sama mencari daun dan kayu. Kita akan bersama-sama membawa dan menjualnya kepasar.”

Puranti mengangguk pula.

“Kalau begitu, berbuatlah untuk selanjutnya seperti dirumah sendiri. Lakukanlah pekerjaan yang pantas bagi seorang gadis miskin. Isi rumah ini hanyalah kita berdua, pembaringan tua dan geledeg yang berisi satu dua buah belanga.”

“Ya biyung.”

“Sumur ada dibelakang rumah” perempuan itu berhenti sejenak lalu, “coba sebut namamu sekali lagi.”

“Namaku Rati.”

“Ya Rati. Aku memang pelupa. Aku pernah mengatakan, namamu nama yang baik sekali. Kalau kau anak seorang yang kaya, dan kau sempat mendapat pakaian yang bagus dan perhiasan yang mahal, kau akan menjadi seorang gadis yang sangat cantik. Pantas sekali dengan namamu. Tetapi dalam keadaanmu sekarang, nama itu terlampau baik buatmu.”

Puranti mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Aku akan memanggilmu Suntrut.”

Puranti terkejut mendengar nama yang diberikan kepadanya, sehingga ia mengangkat wajahnya.

“Ya, Suntrut karena wajahmu yang selalu suntrut dan muram.”

Puranti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tersenyum di dalam hati.

“Apakah kau keberatan?”

“Tidak biyung.”

“Bagus. Sekarang, pergilah kebelakang.”

Purantipun kemudian berdiri dan pergi ke belakang. Dilihatnyalah dapur yang rendah dan bahkan sudah miring. Dapur yang hampir tidak ada isinya. Namun dapur itu tampak bersih dan terasa bahwa ada tangan yang telah merawatnya.

“Ternyata janda ini adalah seorang yang rajin” berkata Puranti didalam hatinya.

Demikianlah, maka Puranti pun tinggal di rumah janda miskin itu. Beruntunglah ia, bahwa ia mendapat tempat di belakang, karena di ruang dalam yang sempit, tidak ada lagi tempat baginya.

Sehari dua hari Puranti menunjukkan bahwa ia adalah seorang gadis pendiam yang bermuka muram. Sehingga janda itu menjadi semakin yakin, bahwa Puranti, yang dipanggilnya Suntrut itu akan dapat menjadi kawan yang baik baginya. Apalagi Puranti menunjukkan kemampuannya menjaga kebersihan rumah dan halaman itu.

Setiap pagi sebelum matahari terbit, Puranti telah bangun dan menyapu halaman, mengisi jambangan yang sudah tidak mempunyai bibir lagi dengan air sumur yang bening.
Janda itu menjadi terharu, sehingga Suntrut baginya adalah anaknya yang baik. Anak yang mengerti keadaannya, yang bersedia hidup dalam keprihatinn yang dalam.

“Sayang” desisnya kepada diri sendiri, “kalau saja ia menemukan kesempatan, ia adalah seorang gadis yang cantik.”

Dalam pada itu, Puranti pun selalu berusaha untuk tidak menumbuhkan kecurigaan pada janda yang baik itu. Ia sama sekali tidak menimbulkan kesan lain dari seorang gadis yang selalu berwajah muram, tetapi rajin dan setia.

Ternyata Puranti berhasil, karena ia memang tidak mempunyai maksud jelek. Ia hanya sekedar ingin menetap seperti kebanyakan orang, meskipun ia harus tinggal di dalam gubug yang tua dan bekerja keras. Namun bekerja keras bagi Puranti bukannya persoalan baru. Justru di padepokannya sendiri ia harus berbuat lebih banyak karena persoalan-persoalan yang ada memang lebih banyak dari persoalan yang dihadapi di rumah kecil itu.

Pada malam yang ketiga, Puranti telah mencoba meninggalkan pembaringannya. Tetapi ia tidak pergi terlalu jauh. Ia berada di halaman untuk mengetahui, apakah janda itu pada suatu saat akan mengetahui, bahwa ia tidak ada ditempatnya.

Namun agaknya di malam hari janda yang memungutnya anak itu jarang sekali terbangun. Ia tidur saja dengan nyenyaknya, seolah-olah tidak ada persoalan, apapun yang perlu dipikirkannya.

Dimalam-malam berikutnya Puranti telah berada di halaman rumah Wiyatsih lagi. Namun, sebagai lajimnya seorang gadis, maka Puranti pun berceritera tentang dirinya sendiri. Bagaimana ia berhasil mendapatkan kepercayaan dari janda miskin itu, sehingga. ia benar-benar telah dianggapnya sebagai anaknya.

“Aku ingin juga pergi ke Cangkring” berkata Wiyatsih kemudian.

“Ah, jangan. Kau akan dapat mengganggu perananku disana.”

“Aku juga akan memakai pakaian kumal”

Puranti menggeleng, “Banyak orang yang telah mengenalmu disini, bahkan orang-orang Cangkring pun mengenal keluargamu.

Wiyatsih mengangguk-angguk kecil.

“Sudahlah. Jangan pikirkan hal itu sekarang.”

“Tetapi aku tetap ingin melihat rumahmu.” Wiyatsih berhenti sejenak, lalu, “tetapi apakah kau juga bernama Puranti.”

“Aku disebutnya Suntrut.”

Wiyatsih tertawa. Tetapi suaranya terputus ketika Puranti berdesis, “Sst. apakah kau ingin membangunkan Pikatan.”

Wiyatsih menutup mulutnya. Namun. ia masih tetap tertawa tertahan-tahan. Bahkan katanya kemudian, “Aku akan memanggilmu bukan Suntrut, tetapi Slontrot.”

Keduanya tertawa, meskipun mereka harus menutup mulut mereka dengan telapak tangan.

Demikianlah, maka Puranti pun segera mulai mengajarkan ilmunya kepada Wiyatsih. Ia melihat perkembangan sikap Wiyatsih yang menggembirakan. Langkahnya, keseimbangannya, dan kecepatan tanggapan, telah memungkinkan Puranti untuk mulai dengan gerak-gerak dasar dari ilmunya.

Kesungguhan hati Wiyatsih ternyata banyak membantu, sehingga keduanya hampir tidak menemui kesulitan yang berarti.

Meskipun kadang-kadang ada juga persoalan-persoalan, tetapi pada umumnya Puranti menganggap bahwa Wiyatsih tidak ubahnya seperti kakaknya. Ia memiliki otak yang cerdas dan kemauan yang keras. Apalagi keduanya adalah gadis yang saling dapat menyesuaikan diri, sehingga Puranti tahu benar apa yang sebaiknya dilakukan.

Tanpa diketahui oleh siapapun juga, maka latihan-latihan di halaman belakang itu berlangsung terus. Bahkan seperti yang di pesankan oleh Puranti, setiap saat Wiyatsih selalu melatih diri. Siang hari kadang-kadang ia bersembunyi dibawah tebing Kali Kuning yang dalam di ujung bulak, di tempat yang jarang sekali dikunjungi orang. Dengan alasan menunggui air yang hanya mengalir seakan-akan setitik demi setitik atau alasan apapun, Wiyatsih sering berada diluar rumah hampir sehari penuh.

Namun dalam pada itu, keadaan di padukuhan-padukuhan disekitar Alas Sambirata itu menjadi semakin buruk. Kerusuhan-kerusuhan masih saja berlangsung terus. Hampir tiap malam terdengar kentongan dua ganda, pertanda pencurian. Kemudian titir dan bahkan kebakaran.

Dengan demikian maka setiap orang menjadi bertambah prihatin. Sedang langit masih saja selalu cerah dan sinar matahari bagaikan membakar padukuhan-padukuhan yang menjadi semakin kuning dan layu. Meskipun Kali Kuning masih tetap mengalir, namun mereka yang hidup di sekitarnya sama sekali tidak dapat memanfaatkannya, karena tebing yang memang agak tinggi.

“Satu-satunya cara adalah bendungan” berkata Puranti pada suatu malam kepada Wiyatsih.

“Ya. Bendungan.”

“Kau dapat mulai Wiyatsih. Meskipun tentu kau tidak akan dapat mulai dengan kerja itu sendiri saat ini. Kita tahu sebentar lagi musim hujan akan datang. Kalau bendungan itu belum selesai sama sekali, maka banjir yang pertama akan menghanyutkannya. Karena itu. kalau kau akan mulai dengan usaha itu, mulailah dengan perencanaan dan mencari kawan yang bersedia membantumu.”

Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Bukankah kau mempunyai banyak kawan anak-anak muda? Anak-anak muda yang paling cocok bagimu dapat kau bawa serta.”

“Ah”

“Tentu, pada suatu ketika seorang gadis akan mempunyai kawan seorang anak muda yang paling sesuai bagi dirinya”

“Kau?”

“Aku seorang petualang, Mungkin aku termasuk perkecualian.

“Dan sekarang kau mengajari aku untuk menjadi seorang petualang.”

Keduanya tersenyum.

Namun demikian, hal itu tidak pernah pudar dari angan-angan Wiyatsih. Bahkan seperti kata-kata Puranti, tanpa disadarinya ia mencoba menemukan anak muda yang paling sesuai dengan dirinya. Semata-mata karena ia ingin segera dapat mulai dengan rencana pembuatan bendungan di musim kering mendatang.

Dengan demikian, maka Wiyatsih tidak pernah memikirkan persesuaian yang lain artinya dari bekerja bersama menyusun rencana pembuatan bendungan di Kali Kuning untuk menaikkan air yang akan dapat mengairi sawah di musim kering, sehingga sawah itu tidak sangat tergantung pada hujan.

Tetapi, apabila ia memikirkan rencana itu, ia tidak pernah dapat menyisihkan kakaknya. Pikatan dari angan-angannya. Meskipun ia tidak berani lagi membicarakan hal itu dengan kakaknya, namun kakaknya baginya adalah orang yang pertama-tama memikirkan kemungkinan itu.

“Tetapi kakang Pikatan menjadi orang aneh sekarang. Seakan-akan dunianya menjadi asing dan berbeda dengan dunia kami” desah Wiyatsih di dalam hatinya.

Setiap kali Wiyatsih menyiapkan makan dan minumnya, terpercik pula niatnya untuk mengatakan hal itu kepada Pikatan. Tetapi kata-kata yang sudah siap meluncur di bibir itu, terpaksa ditelannya kembali.

“Apakah aku akan melakukannya diluar pengetahuan kakang Pikatan?” pertanyaan itu selalu mengganggu perasaannya.

Ketika tanah menjadi semakin kering, dan dedaunan menjadi semakin layu, Wiyatsih mencoba untuk melangkah semakin maju didalam usahanya, meskipun ia masih selalu dibayangi oleh wajah kakaknya yang muram. Namun musim yang garang ini sebaiknya tidak selalu berulang datang setiap tahun. Tahun ini, kemudian tahun mendatang. Tahun-tahun yang akan datang pula.

Di satu senja yang kemerah-merahan, Wiyatsih berdiri di pinggir Kali Kuning didalam bayangan dedaunan di ujung sederet pering ori yang tumbuh di pinggir sungai itu. Dengan tajamnya ia memandang percikan air disela-sela batu-batu yang berserakan. Kemudian bayangan cahaya bulan yang kekuning-kuningan memantul pada riak air yang seolah-olah meloncat-loncat diatas kerikil yang basah.

“Siapa disitu?” bertanya seorang laki-laki berambut putih.

“Aku kek, “ jawab Wiyatsih.

“Kau lagi Wiyatsih. Apa kerjamu disitu? Sebentar lagi malam akan semakin gelap”

Tetapi Wiyatsih menggeleng. Jawabnya, “Tidak. Sebentar lagi bulan akan naik ke langit.”

“Ah kau. Pulanglah.”

Wiyatsih tersenyum. Adalah kebetulan sekali, bahwa ia pernah mengalami hal yang serupa. Laki-laki tua itu pulalah yang menjumpainya di tempat itu, disaat-saat pertama kali ia menunggu kehadiran seorang gadis yang aneh baginya, yang ternyata bernama Puranti.

“Pulanglah” desak orang tua itu, “kau selalu membuat ibumu menjadi bingung.”

“Kenapa kek? Ibu tidak pernah bingung.”

“Apa yang kau tunggu disitu?”

“Bulan itu kek.”

“Itu-itu lagi jawabmu. Ayo, aku antarkan kau pulang.”

“Terima kasih. Aku masih akan tinggal disini sebentar. Kalau kakek nanti lewat dimuka rumah dan ibu bertanya, tolong katakan bahwa sebentar lagi aku pulang.”

Orang tua itu memandang Wiyatsih dengan menyimpan pertanyaan didalam hati. Tetapi pertanyaan itu tidak diucapkannya.

Wiyatsih memandang orang yang kemudian naik tebing dan hilang dibalik tanggul.

Sejenak gadis itu termenung. Dipandanginya air sungai yang mengalir gemericik. Air itu cukup banyak mengairi sawah. Tetapi harus diusahakan agar air itu dapat naik keatas tebing.

Selagi Wiyatsih merenung dilihat sesosok tubuh menuruni tebing di seberang. Ketika Wiyatsih mengangkat wajahnya. dilihatnya seorang anak muda yang memanggul cangkul berjalan ke arahnya, Tetapi agaknya anak muda itu terkejut juga melihat Wiyatsih seorang diri di pinggir sungai menjelang petang.

“Wiyatsih, apa kerjamu disini?” bertanya anak muda itu.

Wiyatsih hanya tersenyum saja.

“Marilah kita pulang. Sebentar lagi hari akan gelap”

Tetapi Wiyatsih menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak, Aku masih belum akan pulang”

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Selangkah ia maju mendekat. Dan sekali lagi ia bertanya, “Apa sebenarnya. yang kau tunggu?”

“Aku tidak menunggu apapun.”

“Lalu”

“Aku sedang menghitung arus sungai ini.”

“Ah. kau aneh, “ anak muda itu menjadi heran, “ apakah kau dapat melakukannya?”

“Maksudku, aku sedang memperhitungkan kemungkinan yang dapat diberikan oleh arus-sungai ini.”

Anak muda itu menjadi semakin heran. Katanya, “Aku tidak mengerti Wiyatsih.”

Wiyatsih tersenyum. Memang anak-anak muda di padukuhan segan berpikir barang sedikit saja. Karena itu Wiyatsih harus menjelaskan, “Kalau air ini dapat kita alirkan ke sawah kita, maka sawah kita akan menjadi subur.”

“O” Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya, “Tetapi jangan bermimpi di senja hari. Kita dilahirkan di daerah yang tandus. Kita memang harus bekerja mengatasi kesulitan ini. Tetapi bagaimana mungkin kita merubah alam yang dikaruniakan kita?”

Wiyatsih mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Apakah sepanjang umurmu, kau belum pernah melihat bendungan di sungai manapun juga?”

“Ah, tentu sudah Wiyatsih”

“Bendungan itu bukan sekedar sebuah mimpi. Ia dapat diwujudkan di suatu tempat.”

“Tetapi tidak pada sebuah sungai yang bertebing dalam seperti Kali Kuning ini. Bagaimana mungkin kita dapat membuat bendung. Kita tidak mempunyai bekal apapun. Beaya tidak ada, dan alat-alat juga tidak ada”

“Tetapi kita mempunyai otak.”

Anak muda itu mengangkat bahunya. Katanya kemudian, “Sudahlah Wiyatsih. Sawahmu adalah justru sawah yang paling baik dari daerah ini. Lebih dari separo sawahmu bukan sekedar sawah tadah udan seperti yang lain. Apakah kau masih menganggap bahwa penghasilanmu kurang.”

“O” Wiyatsih terkejut mendengar tanggapan anak muda itu, sehingga dengan serta merta ia menjawab, “kau salah paham, sawahku memang tidak memerlukan bendungan. Tetapi kalianlah yang memerlukannya.”

Tetapi anak muda itu menggeleng. Katanya kemudian, “Sudahlah Wiyatsih. Marilah kita kembali. Hari menjadi semakin gelap. Lihat burung-burung telah berputaran mencari sarang. Bahkan kelelawar satu dua telah keluar dari sarangnya?”

Wiyatsih menggeleng, “Sebentar lagi akan menjadi terang benderang. Kau lihat bulan mulai memancar?”

Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Namun sebelum ia menyahut, keduanya terkejut ketika mereka mendengar seseorang berkata, “Itukah kerja kalian di pinggir sungai ini?”.

Wiyatsih dan anak muda itu berpaling. Dilihatnya, seseorang berjalan mendekat. Langkahnya gemerisik diatas pasir yang basah berkerikil.

“O, kau Tanjung” sapa Wiyatsih.

“Wiyatsih, ibumu minta kau segera pulang. Kalau ibumu melihat kau berdua disini, ibumu pasti akan marah.”

“Ah, pikiranmu aneh. Kebetulan saja ia lewat dan berhenti sejenak melihat aku sendiri disini.” jawab Wiyatsih.

Tanjung memandang anak muda itu dengan tatapan mata yang aneh. Tetapi agaknya anak muda itu tidak mau terlibat dalam keributan, sehingga ia berkata, “Aku benar-benar tidak sengaja menemuinya disini Tanjung. Kalau kau akan membawanya pulang, bawalah.”

“He, tunggu” cegah Wiyatsih, “kau sangka apa aku. Tidak seorang pun dapat membawa aku. Aku bukan barang dapat dibawa kesana kemari.”

“O. maaf.” sahut anak muda itu, “maksudku, kalau kalian akan pulang, atau kalau Tanjung diminta oleh ibumu untuk menyusul kau.”

Anak muda itu tidak menunggu jawaban siapapun. Kakinya segera diayunkannya meninggalkan tempat itu sambil menggerutu di dalam hati, “Tanjung terlampau cemburu. Aku tahu, ia mempunyai niat atas gadis itu. Untunglah bahwa aku masih dapat menghindar.”

Yang tinggal di pinggir Kali Kuning kemudian adalah Wiyatsih dan Tanjung yang saling berpandangan sejenak. Namun Wiyatsih kemudian melemparkan pandangan matanya ke air yang gemericik

“Marilah pulang Wiyatsih. Ibumu minta kau pulang. Dahulu aku mengira, bahwa kau selalu mengenang Pikatan yang pergi menyelusuri jalan itu. Tetapi Pikatan sekarang sudah di rumah”

Wiyatsih menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Tanjung, apakah kau tidak menaruh perhatian sama sekali kepada Kali Kuning?”

Tanjung memandang wajah Wiyatsih dengan kening yang kerut-merut.

“Aku senang sekali berada di pinggir Kali Kuning ini. Memandang airnya yang memercik diantara batu-batu. Apalagi di bulan purnama”

“Wiyatsih” jawab Tanjung, “apakah yang menarik pada Kali Kuning? Bagiku Kali Kuning adalah sebuah sungai yang mengalir dibawah kaki kita. Apakah yang lebih dari itu?”

“Memang tidak ada” jawab Wiyatsih, “kalau kita tidak memberikan arti kepadanya, Kali Kuning tidak lebih sebatang sungai yang mengalir setiap saat tidak henti-hentinya.”

“Maksudmu cahaya bulan yang memantul? Berkilat-kilat dan menumbuhkan kesan yang cerah di hatimu?”

Wiyatsih tersenyum. Katanya, “Ya”

Tiba-tiba wajah Tanjung menjadi kemerah-merahan. Wiyatsih baginya adalah seorang gadis yang cantik. Meskipun selama ini ia tidak pernah mengatakan apapun kepadanya, tetapi ada sesuatu yang menyelinap didalam hatinya. Sehingga didalam suasana redupnya bulan yang sedang mulai naik, terasa sesuatu telah menggelitik hatinya.

“Wiyatsih” desisnya, “seandainya ibumu tidak menyuruh aku memanggilmu pulang, aku pun masih ingin berada di pinggir Kali Kuning ini bersamamu.”

“Kenapa seandainya?”

“Kalau kita berada disini, maka ibumu pasti akan menunggumu. Bahkan setelah aku pergi menyusulmu, dan aku tidak segera kembali membawamu, ia akan menjadi semakin cemas.”

“O” Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya, “kalau begitu, kita akan segera pulang?”

“Kali ini Wiyatsih. Tetapi berada di pinggir Kali Kuning di bulan purnama memang menyenangkan sekali. Apalagi bersamamu.”

“Kenapa bersamaku?”

Tanjung menjadi bingung sesaat. Dicobanya untuk menenangkan hatinya yang tiba-tiba gelisah.

“Tanjung” berkata Wiyatsih, “Kali Kuning memang sangat menarik. Tetapi bagiku Kali Kuning bukan sekedar sebatang sungai yang berair jernih, yang memantulkan cahaya bulan yang keemasan dan yang memberikan kesan yang manis didalam hati.”

Tanjung mengerutkan keningnya. Bahkan kemudian ia bertanya, “Lalu, apa yang dapat kau temukan pada Kali Kuning ini Wiyatsih?”

“Kali Kuning memberikan kesan yang cerah di hati kita. Tetapi kita harus memberikan arti lebih banyak lagi. Bukan hanya untuk kita berdua, atau kepada anak-anak mudanya.”

“Maksudmu, agar orang-orang yang sudah berusia lanjut dan kanak-kanak juga dapat merasakan keindahan Kali Kuning di bulan purnama?”

Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia menjawab, “Bukan saja di bulan purnama, Tanjung.”

Tanjung menjadi bingung. Karena itu ia masih bertanya lagi, “Wiyatsih, apakah kau berangan-angan bahwa orang-orang tua dan ibu-ibu kita, setiap bulan purnama berjalan-jalan berdua diatas tepian seperti sepasang pengantin baru?”

Tiba-tiba saja Wiyatsih tertawa. Dan tiba-tiba pula ia merasa berhadapan dengan seorang adik yang bingung mendengar ia berceritera tentang langit dan bumi.

“Tanjung” berkata Wiyatsih, “bukan begitu. Banyak arti yang dapat diberikan oleh Kali Kuning. Sekarang Kali Kuning tidak lebih dari sepercik air yang mengalir tanpa putus-putusnya. Di terang bulan kita dapat melihat bayangan sinar bulan itu. Tetapi kita akan kehilangan arti itu, apabila bulan pudar atau mendung menyaput langit. Kau sadari? Tetapi Kali Kuning dapat memberikan arti yang lain, yang berlaku sepanjang waktu.”

Tanjung benar-benar menjadi bingung. iapun merasa seperti kanak-kanak yang sangat dungu menghadapi seorang yang mumpuni dalam kawruh keduniawian.

“Maksudku, apakah kau pernah membayangkan, bahwa air Kali Kuning ini dapat kita pergunakan untuk mengairi sawah kita yang kering gersang?” bertanya Wiyatsih selanjutnya.

Dada Tanjung bergetar mendengar pertanyaan itu. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa arah pembicaraan Wiyatsih akan sampai kepada persoalan yang hampir tidak pernah dihiraukannya. Sehingga karena itu, maka untuk sejenak, Tanjung diam mematung.

Wiyatsih tidak segera menegurnya. Ia tahu bahwa Tanjung sedang bertanya kepada diri sendiri, apakah ia pernah memikirkan hal itu.

Perlahan-lahan Wiyatsih melangkahkan kakinya diatas pasir. Kemudian disibakkannya air yang mengalir dibawah kakinya. Sepercik-sepercik, seakan-akan ia sedang mencuci ujung kakinya yang penuh dilekati pasir tepian.

Kepala Tanjung menjadi semakin tertunduk karenanya. ia sama sekali tidak membayangkan, sehingga karena itu, ia tidak segera dapat menanggapi pembicaraan Wiyatsih.

“Tanjung” berkali Wiyatsih kemudian, “sudahlah jangan risaukan pertanyaanku. Aku hanya sekedar melontarkan angan-angan yang selama ini menyesakkan perasaanku. Kalau kau sempat mempertimbangkan, pertimbangkanlah.”

Tetapi tiba-tiba Tanjung menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku memang tidak menyangka kalau kau akan berbicara tentang air dari Kali Kuning untuk suatu keperluan yang tidak pernah aku bayangkan. Tanjung berhenti sejenak, lain, “Wiyatsih. Bagaimana mungkin kita akan berbicara tentang air dan sawah kita yang kering. Berpuluh-puluh tahun sejak kakek dan nenek, kita sudah hidup dalam keadaan ini. Tidak seorang pun yang dapat merubah kodrat yang pahit ini bagi kita. Kalau kita tidak mau melihat kenyataan ini. Kitalah yang harus pergi seperti yang pernah dilakukan oleh Pikatan. Ia pernah juga berbicara tentang air Kali Kuning. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Akhirnya ia pergi meninggalkan padukuhan kita. ini. Kau tahu akibatnya. Ia sama sekali tidak berhasil merubah bentuk alam, bahkan dirinya sendirilah yang mengalami bencana.”

Terasa darah Wiyatsih tersirap mendengar jawaban Tanjung itu sehingga dengan serta merta ia berkata, “Kakang Pikatan pergi bukan karena ia menyerah terhadap alam yang kejam di daerah ini. Tetapi ia mempunyai cita-cita yang lebih tinggi. Ia merasa bahwa ia hanya seorang diri disini.”

“Tetapi kau sekarang melihat akibatnya.”

“Maksudmu kakang Pikatan telah kena kutuk dari alam yang diangankannya untuk dirubah itu?”

Tanjung tidak menyahut.

“Dan karena itu kau takut berbicara tentang Kali Kuning dan airnya yang mungkin dapat dinaikkan untuk kepentingan sawah. dan ladang kita?”

Tanjung termangu-mangu sejenak. Tetapi ia masih berusaha menahan diri agar ia tidak bertengkar dengan Wiyatsih. Karena itu maka katanya kemudian, “Sudahlah Wiyatsih. Sebaiknya kita tidak membicarakan masalah-masalah yang berada diluar kuasa kita. Alam, musim kering, air sungai, dan apapun lagi. Sebaiknya kita berbicara saja tentang diri kita”

Bersambung ke bagian 2

Satu Tanggapan

  1. Merenungi cerita karya2 almarhum SH Mintarja mengingatkan segala perjalanan yg ditempuh, dari kampung di sudut kraton Jogja hingga terdampar di Jakarta saat ini..

Tinggalkan komentar